BPK Vs Wajib Pajak

Kalau saja Pasal 34 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) itu adalah mahluk yang bernafas dan berpikir sebut saja misalnya; manusia, mungkin telinganya akan memerah dan panas karena seringnya diberitakan di media massa. Mungkin juga ia akan merasa sedih karena keberadaannya dianggap sebagai penghambat tugas dan fungsi pemeriksaan BPK sebagai lembaga auditor eksternal di negara ini. Terlebih, di beberapa tulisan di media massa, dia juga dituding sebagai salah satu penyebab suburnya praktik korupsi di lingkungan Ditjen Pajak. Namun tentu saja, Pasal 34 UU KUP bukanlah manusia, ia hanyalah salah satu Pasal dari UU KUP yang dibuat oleh manusia. Layaknya sebuah peraturan perundang-undangan, Pasal 34 UU KUP ini dibuat untuk menciptakan keteraturan dan kepastian hukum dalam masyarakat, bukannya malah menyebabkan keadaan yang chaos.

Pasal 34 UU KUP secara konkret melindungi kerahasiaan Wajib Pajak (WP), caranya adalah dengan menetapkan larangan bagi segenap aparatur pajak maupun seluruh tenaga ahli yang diperbantukan pada Ditjen Pajak untuk mengungkapkan kepada pihak lain data pribadi WP yang diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini adalah Ditjen Pajak. Pelanggaran atas kewajiban merahasiakan data perpajakan WP yang dikarenakan kealpaan atau kesengajaan fiskus maupun tenaga ahli yang diperbantukan diancam sanksi sesuai Pasal 41 UU KUP. Sanksi tersebut berupa hukuman kurungan paling lama 1-2 tahun dan denda paling banyak 25 juta-50 juta. Sanksi yang lebih berat dikenakan terhadap fiskus ataupun tenaga ahli yang diperbantukan, bila dengan sengaja membocorkan data perpajakan WP, hal ini dilakukan agar pejabat yang bersangkutan lebih bersikap hati-hati dan tidak membocorkan data rahasia WP. Jelas sudah, kepastian hukum atas perlindungan kerahasiaan data perpajakan WP dilindungi dan dijamin dengan sungguh-sungguh oleh Undang-Undang KUP.

Sebenarnya prinsip yang diterapkan dalam Pasal 34 UU KUP ini adalah prinsip fakta yang bersifat umum dan didasarkan atas akal sehat dan asas kehidupan yang beradab di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjamin hak privasi dan kepastian hukum WP dalam melakukan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan.

Tax secrecy (kerahasiaan pajak) sebagai hak pribadi yang dijamin oleh pasal 28F dan 28H ayat (4) UUD 1945 bukan hanya ketentuan yang ditemui di negara kita saja. Di semua negara, kerahasiaan pajak dijamin oleh undang-undang negara tersebut secara ketat. Di Australia, misalnya, terdapat ketentuan serupa yang melarang petugas pajak mengungkapkan informasi wajib pajak. Bahkan di Malaysia, larangan untuk menjaga kerahasiaan data wajib pajak berlaku bukan hanya kepada petugas pajak yang masih aktif, tetapi juga kepada pensiunan petugas pajak.

Selain di bidang perpajakan, kerahasiaan semacam ini juga dapat ditemui di beberapa bidang lain. Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya, menjaga kerahasiaan data sensus dan tidak membuka akses data-data tersebut bagi pihak lain. Dengan demikian, kewajiban untuk merahasiakan data perpajakan WP merupakan hal yang lazim berlaku sebagai implementasi dari perlindungan terhadap hak WP sekaligus juga memberikan kepastian hukum bagi WP.

Di sisi lain, beberapa pemberitaan media massa menyebutkan tentang keinginan BPK untuk dapat memeriksa WP individual, dengan alasan agar pelaksanaan tugas dan fungsi pemeriksaan BPK dapat berjalan lebih baik. Tanpa adanya akses ke data perpajakan pribadi WP, BPK mengkhawatirkan fungsi pemeriksaan yang mereka lakukan tidak dapat berjalan dengan baik.

Padahal, dengan mekanisme yang diatur dalam Pasal 34 ayat 2a UU KUP, BPK tetap dimungkinkan mendapatkan akses kepada data-data pribadi WP dalam hal terjadi kondisi tertentu. Kondisi ini, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lain. Keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Dengan demikian, kepentingan kedua pihak (DJP dan WP) akan dapat terakomodasi dengan baik. WP akan merasa aman dan percaya karena kerahasiaannya tetap terjaga, sementara di sisi lain, kepentingan negara tidak akan terabaikan karena Menteri Keuangan dapat memberikan izin kepada aparatnya untuk membuka kerahasiaan pajak apabila memang diindikasikan terjadinya tindak pidana.

Apabila nantinya wewenang pemeriksaan WP bukan hanya menjadi milik DJP atas nama undang-undang tetapi juga menjadi milik BPK, maka yang akan terjadi adalah ketidakteraturan karena secara substansial hal ini melanggar Pasal 34 UU KUP. Disamping itu, consent WP untuk menyerahkan rahasia pribadinya kepada negara akan tidak terlindungi lagi oleh negara. Dengan demikian, keinginan BPK itu bisa dikatakan melanggar UUD 1945, Pasal 28F dan Pasal 28H ayat (4), tentang hak privasi setiap orang. Bila Pasal ini dilanggar, dalam arti bahwa privasi dan kerahasiaan data WP diabaikan, maka ranah privacy menjadi semakin sempit dan menjadikan masyarakat bersifat totaliter, tidak ada privasi lagi.

Sekali lagi, seandainya Pasal 34 UU KUP adalah manusia, relakah dia menerima tuduhan sebagai “biang keladi” penghambat kinerja dan fungsi BPK sebagai lembaga pemeriksa negara? Pertanyaan yang lebih mendasar muncul disini, sudah tepatkah tudingan ini dialamatkan kepada Pasal 34 UU KUP sehingga menciptakan opini publik bahwa konflik yang muncul adalah antara DJP dan BPK sebagai pihak yang berkepentingan? Atau apakah konflik yang sebenarnya ada adalah antara BPK dengan WP yang kerahasiaan datanya terancam karena hak kepastian dan perlindungan hukumnya tidak terjamin lagi? Marilah kita coba untuk melihat kembali akar permasalahannya dengan lebih jernih karena materi Pasal 34 UU KUP ini sudah ada sejak lama, bahkan ada sebelum adanya reformasi perpajakan di tahun 1983 dan tidak pernah dipermasalahkan oleh BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara sebelum dibawah kepemimpinan Anwar Nasution. Lagipula, bukankah Ditjen Pajak tiap tahunnya sudah diperiksa oleh BPK, BPKP, dan Itjen Departemen Keuangan? Jadi, ada apa sebenarnya di balik ini semua?

Nah,marilah kita melihat dan berpikir jernih bagaimana seharusnya. Apakah tidak mungkin bila hal ini akan mengundang hal-hal yang membuat mahluk manusia ini menjadi tenteram dan nyaman? Semoga saja demikian. Atau sebaliknya?.

Brosur Pelatihan Brevet A&B&C

Tax Center Maksi Universitas Trisakti memiliki kegiatan rutin didalam penyelenggaraan pelatihan terpadu pelatihan pajak " Brevet tingkat A,B,dan C"

Tenaga Pengajar TCM, sbb:
=> Asep Wahyudi Nugraha,SE
=> Drs.H.Bahar Rusli
=> Deddy Arief Setiawan,SE.,MSi
=> Dicky L.Sianipar,SKom,MM
=> Erikson Aprianto AH,SE
=> Gerrits P.Tampubolon,SH.,MInt.'l
=> I Nyoman Widia,SE.,MH.,Ak.,CPA
=> Miftah Sobirun,SE.,MSi
=> Muzakir,SE.,Ak.,MSi
=> Purno Murtopo,SE
=> Rieza Zainal,SE.,MSi
=> Ronny Sobirun,SE.,MM
=> Rudi Hartasetiadi,SE.,MM


Powered by Blogger